Jumat, 13 Februari 2009

Antara Lonte, Pelacur atau PSK

Apa yang anda rasakan bila masing-masing kata itu disebutkan? Yang pertama terasa sangat kasar, vulgar, dan rendah. Adanya di kelas bawah dan murahan. Demikian pula yang kedua walaupun bagi saya pribadi rasanya yang kedua sedikit lebih ‘berkelas’. Yang ketiga juga lebih ‘berkelas’ dari dua yang pertama. Suai? Suaila…

Kata yang pertama sangat berkesan bagi saya karena kata-kata itu pertama saya kenal saat membaca karya Mochtar Lubis ketika duduk di bangku SMA. Sayang saya lupa judul novel itu. Yang jelas saat itu saya berpikir, ternyata kata ‘lonte’ telah dikenal pada tahun 50-an. Bisa jadi kata-kata itu lebih tua lagi.

Setelah itu saya mengenal kata-kata lainnya tapi berkonotasi sama, yaitu pelacur dan beberapa tahun belakarang kita ‘dikenalkan’ pada istilah yang lebih ‘manis’ didengar, PSK alis pekerja seks komersial.

Pertanyaannya, mengapa kita harus memperhalus istilah itu dengan berbagai istilah yang justru menyamarkan arti sebenarnya? Dan bukannya tidak ada singkatan lain dari PSK mengingat kita ini hobi banget gitu loh menyingkat-nyingkat kata walaupun sering ngawur.

Salah satu contoh yang enak untuk dibahas adalah singkatan lapas untuk Lembaga Pemasyarakatan. Singkatan ini tak jelas darimana akarnya dan bagaimana pola penyingkatannya. Kalau dua kata itu disingkat dari tiga huruf di awal kata, maka singkatan yang benar adalah lempem. Lucu kedengarannya. Kalau disingkat dari kata dasar, jadinya lemmas.

Karena itulah, kalau kita jeli memperhatikan segala yang disingkat-singkat di negeri ini, maka kita akan menemukan arti lain dari PSK, entah itu Pasukan Kuning, Persatuan Sosial Kemasyarakatan dan banyak lagi, tergantung kebutuhan. Seperti LPJ dapat berarti laporan pertanggungjawaban dan juga latihan pra jabatan. Mobnas yang berarti mobil nasional sekaligus juga mobil dinas.

Kembali ke soal lonte dan pelacur tadi, menurut saya, seorang lonte sekalipun, akan marah bila ia dimaki dengan sebutan itu. Coba saja anda sebut sendiri kata itu dan coba pula sebut PSK. Pasti beda kan? Itu karena nilai rasa yang melekat pada ‘lonte’ itu demikian rendah dan hinanya. Menjijikkan. Kelas bawah.

Berbeda dengan PSK. PSK mungkin saja berpindah dari satu diskotik ke diskotik lainnya, dari lobi hotel A ke hotel B, dari jok Mercy ke BMW. Short time service bisa berharga ratusan ribu. Begitulah yang tertanam di otak kita bila mendengar kata itu. Kesannya mahal, kelas atas, dan bergengsi. Tapi saya kira kita semua setuju bahwa baik lonte, pelacur ataupun PSK, pada intinya sama saja artinya, yaitu berzina. Titik.

Jadi, supaya tidak rancu, mengapa kita tidak kembali menggunakan kata lonte atau pelacur saja. Biarlah PSK digunakan untuk hal-hal yang berkonotasi positif saja, seperti Persatuan Sosial Kemasyarakatan itu. Perkara kata lonte atau pelacur itu terdengar memalukan dan kasar, biar saja. Memang itu tujuannya. Agar para pelonte atau lontewati dan lontewan, pelacurwati dan pelacurwan jadi kapok dan tak lagi mengulangi perbuatannya.

Dan orang-orang di PSK (yang ini berarti Persatuan Sosial Kemasyarakatan) boleh berbangga hati menyebut diri PSK. “Kami dari korps PSK, siap melayani anda.”

Selain itu menurut Islam, jika seseorang berzina, maka empat puluh rumah di sekelilingnya akan merasakan dampaknya. Jadi perkara zina bukanlah perkara kecil. Perkara lonte bukanlah perkara kasar atau halus, manusiawi atau hewani, tapi perkara hidup kita sebagai anggota masyarakat, sebagai umat beragama yang dituntun dengan nilai-nilai dan norma-norma. Suai? Suai lagila…(fitri mayani)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar